Kamis, 24 Maret 2011

Pernikahan Menjelang Kematian (Kisah Nyata)

Katie Kirkpatrick (21), mengidap kanker ketika akan merayakan hari terbaik dalam hidupnya. Katie diserang penyakit kanker, pernapasannya terganggu, bahkan ia harus menggunakan tabung oksigen untuk membantunya bernapas. sakitnya tidak tertahankan, bahkan morphin pun tidak bisa menahan rasa sakitnya. Organ² tubuhnya mulai melemah tapi itu tidak menghentikannya untuk menikahi nick (23), yang telah ia cintai semenjak kecil.
Katie (21), memegang obatnya beberapa saat sebelum ia tidur karena pengaruh morphin yang telah ia gunakan. Ia terserang kanker paru-paru..

Sehari sebelum pernikahannya, katie dalam keadaan yang sangat menyakitkan. Ia menggunakan morphin dan obat²an untuk membantu menghilangkan sakitnya

Katie menderita kanker stadium akhir dan menghabiskan beberapa jam setiap harinya untuk terapi. Terlihat Nick sedang menunggu Katie sampai selesai, ini adalah salah satu dari sekian banyak sesi Kemoterapi Katie.
 
Dalam kesulitannya dalam menahan rasa sakit, kegagalan organ, dan morphin, Katie tetap mau melaksanakan acara pernikahannya dan memperhatikan setiap detail. Gaun pengantin perlu diperkecil beberapa kali karena Katie terus menerus kehilangan berat badannya.

 
Katie (21) dan Nick (23), seorang sheriff yang ia kenal sejak kecil, menikah di Gereja Hazel Park, Sabtu, 15 Januari 2005.

Pernikahan dengan aksesoris yang tidak biasa dengan selang oksigen, Katie memakainya baik dalam upacara dan resepsi pernikahannya. Pasangan yang lain di gambar atas adalah Orang Tua Nick. Ikut bersuka cita melihat anak laki²nya menikahi sang pujaan hati, teman smunya.

Katie, di kursi rodanya dengan selang oksigen, mendengarkan sebuah lagu dari suaminya dan teman2nya.
 
Dalam resepsi, Katie perlu beberapa kali istirahat. Rasa sakitnya membuat ia tidak bisa berdiri lama2.


Katie meninggal 5 hari kemudian setelah pernikahannya. Melihat seorang wanita yang sakit kritis dan lemah melakukan pernikahan dan dengan sebuah senyuman di wajahnya membuat kita berpikir….. Kebahagiaan bisa dicapai, tidak perduli bisa bertahan berapa lama. Kita seharusnya tidak membuat hidup kita menjadi rumit. 

Jumat, 18 Maret 2011

Kamis, 17 Maret 2011

Rabu, 16 Maret 2011

Maaf papa kena PHK

Pa, seminggu lagi kan lebaran. Kapan kita beli baju baru,”
“Iya Bu, Papa sudah memikirkannya kok. Nanti kalau ada waktu kita pergi belanja sama-sama”, jawabku pada istri tercinta walau ia sering buat jengkel.
“Kalau ada waktu? Emangnya Papa sudah punya uang? Kenapa tidak pagi tadi saja, kan Bapak libur. Kasihan anak-anak”, balas istriku, Arini.
Kasihan sama anak-anak, omong kosong. Aku tahu dia sendirilah yang sampai sekarang masih doyan shoping. Tabiat buruk yang ia tularkan pada anak kami, ironis, gumamku dalam hati.
“Tenang saja Bu, Insya Allah nanti juga kita bisa belanja.”
“Insya Allah. Tapi kapan Pa, kapan? Wong lebaran sudah seminggu lagi, uang buat belanja hari lebaran juga belum Bapak kasih”, kata istriku dengan sifat aslinya, ketus, judes. Bawaan keluarga besarnya yang pongah. Keluarga yang doyan materi.
Ketika keadaan seperti ini, aku baru sadar, aku menikahi gadis yang salah. Andai dulu aku menuruti pada orang tua, jika saja waktu itu aku tidak terbius kecantikan rupa, mungkin kehidupanku akan lebih baik. Tapi apa mau dikata, aku terlanjur mencintai dia walau Arini terkadang masih memandangku sebelah mata, pandangan yang menomorsatukan harta dan tahta.
“Bu, sudah malam. Istirahat yuk, soalnya besok Papa harus keluar kota, ada tugas perusahaan”, kilahku.
“Lho, kok mendadak sih Pak. Enggak seperti biasa. Rencananya nanti berapa hari Pak?” selidik istriku yang memang cerewet. Apalagi setelah kelahiran anak ketiga kami, bukannya berubah, malah makin menjadi.
“Belum tahu Bu, karena pihak perusahaan belum ngasih kejelasan.”
Dari balik gorden yang sempit langit terlihat gelap, tanpa hiasan rembulan. Malam yang suram, sesuram hati dan pikiran Warmidinata, pegawai yang bulan lalu masih menjadi orang kepercayaan perusahaan. Sekalut jiwa dan perasaan seorang kepala rumah tangga, ia tidak rela harus kehilangan keluarga bila mereka mengetahui statusnya di perusahaan.
Mentari sudah bercokol di jidat langit, indah. Menggusur tahta embun pada batang-batang daun. Menemani sajak-sajak Kutilang yang terdengar kian merdu dari teras rumah sederhana, kediaman Warmidinata, tempatnya mencoba menjadi yang terbaik bagi mereka.
“Anak-anak, Papa akan pergi keluar kota, kalian baik-baik di rumah ya, jangan nakal sama Dea. Nanti kalau Dea rewel mama kalian juga yang repot”, kataku di sela-sela sarapan.
“Emangnya Papa mau kemana sih? Besok kan libur Pa, terus kapan Nina beli baju barunya? Teman-teman Nina sudah pada beli lho pa, bagus-bagus. Masa sih Nina kalah sama mereka Pa”, jawab anak sulung Warmidinata dengan polosnya. Sakit hatinya mendengar permintaan itu, sifat yang mestinya tidak Arini wariskan pada kedua anak mereka.
“Iya lho Pa. Padahal orang tua teman Nina kan tidak ada yang kerja kayak Papa. Oh ya Pa, sekarang di Jti Apit Mall lagi banjir diskon lho. Kemarin saja tetangga sebelah kita mborong, keren-keren Pa”, tambah istrinya.
“Iya-iya. Nanti kalau urusan Papa sudah selesai, kita pergi belanja”, Warmidinata mencoba menghibur mereka. Setelah Warmidinata menyakinkan mereka, akhirnya keluargapun mempercayai, walau sebenarnya besokpun Warmidinata tidak ada tugas dari perusahaan, tempatnya mencari nafkah keluarga dulu, sesuatu yang membuat keluarganya pongah.
Ya Tuhan, inikah cobaan-Mu, hatinya mengiba.
Sudut kota masih terlihat lengang, lalu lalang kendaran belum begitu terlihat, maklum libur nasional, hari buruh sedunia. Dengan pakaian resmi kantoran Warmidinata pergi meninggalkan mereka, keluarga tercinta. Entah sampai kapan ia akan terus berlari, terus menghindar kenyataan dunia, demi cinta dan sayangnya pada keluarga.
“Ma, Papa pergi dulu yah. Nanti kalau sudah sampai di sana Papa kabari, kalian jaga diri baik-baik ya. Papa akan segera kembali setelah urusannya selesai”, ucapan terakhirku pada mereka.
Whus, udara pagi langsung menyalami Warmidinata ketika pintu terbuka. Kutilang masih asyik dengan iramanya, menari menemani kepergian sang juragan, entah lara ataukah bahagia.
*****
Rembulan terlihat riang di jidat langit, ia asyik bermain awan dengan ribuan bintang, maha kuasa Dia yang telah menciptakan alam semesta, bukti keagungan-Nya bagi mereka yang memanfaatkan alam pikiran.
“Ma, Papa pergi kemana sih, kok belum pulang-pulang juga. Besok teman-teman ade ngajak pergi belanja” kata Rina memanja, adik Nina.
“Iya nih Ma, kapan sih Papa pulang” Ujar Nina ikut-ikutan.
“Emang kalian saja apa yang menanti Papa pulang, mama juga. Lihat nih daftar kebutuhan kita buat lebaran, mau dibeli pakai apa, kertas? Kemarin kata Papa kalau sudah sampai mau ngubungin kita, tapi nyatanya, sudah dua hari Papa kalian pergi, belum juga ada kabar”, kata Arini.
“Mungkin Papa kalian sangat sibuk, nanti juga pulang kok”, sang Mama menenangkan.
Televisi masih terus membodohi pemirsa dengan programnya, mencekok hidung pemirsa, termasuk keluarga Arini.
“Nin, udah malam. Cepat ajak adikmu tidur sana, nanti kesiangan lagi”, Arini coba mengingatkan.
“Iya Ma, nanti sebentar lagi, ade belum ngantuk kok” jawab Rina.
“Iya nih, nanggung Ma. Nanti kalau acaranya selesai kita tidur kok. Iya kan Rin?”, tambah sang kakak.
“Setuju!” Rina kegirangan.
“Ya Sudah, Mama kedalam dulu. Mama mau manemani Dea. Jangan lupa nanti dimatikan ya pesawatnya”, balas Arini.
Jalan kota mulai lengang, malam minggupun berlalu sudah. Akhir pekan yang suram bagi Nina dan Rina, tanpa acara. Dari balik kamar, sambil menemani Dea, sang bungsu, Arini mendengar kedua anaknya sudah masuk kamar. Pikirannya kalut. Dia mulai berpikir macam-macam tentang apa yang sebenarnya sedang dialami sang suami. Tidak seperti biasa ketika sang suami pergi, paling tidak sehari sekali memberi kabar. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, Arini hanya mengira sang suami tidak bisa menghubungi lantaran sibuk.
Tidak! Mana mungkin Papa berubah. Warmidinata masih sayang padaku, apalagi anak-anak. Tapi kenapa ponselnya tidak bisa dihubungi? Atau jangan-jangan terjadi sesuatu padanya? Ah, besok pagi aku harus mencari tahu, setidaknya lewat perusahaan. Isak hatinya.
Sinar mentari sejuk menyapu taman kota, menyegarkan. Langit nampak cerah, secerah raut bayi yang terlahir tanpa dosa. Surya kian merangkak, menemani Arini menghibur ketiga buah hatinya, keluarga yang sedang dirundung gulita.
Setelah pihak perusahaan memberikan konfirmasi bahwa suaminya sudah lama tidak bekerja di sana, satu bulan yang lalu. Arini siang itu mondar mandir kesana kemari, mencoba mencari kabar tentang Warmidinata, suaminya. Dia panik, bingung, tidak tahu harus kemana lagi. Semua relasi suaminya telah dihubungi, namun tetap tidak ada sebuah petunjuk. Hanya satu hal yang ia tahu, suaminya kena PHK (putus hubungan kerja) sebulan yang lalu.
Siang yang melelahkanpun berlalu, meninggalkan setumpuk pertanyaan buat Arini, kemana sang suami pergi, bekerja dimana setelah keluar dari perusahaan, ataukah…, terbayang kejadian-kejadian yang dia rasa dulu sangat menekan sang suami, kejadian yang dipenuhi ego, ego seorang istri yang tidak tahu terima kasih. Apalagi kalau suaminya di PHK sebulan lalu, ah, waktu kedua anaknya berulang tahun. Dari manakah dia memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan pesta. Arini masih ingat bagaimana raut Warmidinata sangat dirinya meminta mengadakan pesta, ekspresi terpaksa yang menyetujuinya.
Apalagi bila ia ingat bagaimana dulu, ketika keluarganya ‘pasang harga’ saat Warmidinata melamar dirinya. Harga yang memang lewat persetujuan Arini, gadis impian lelaki. Ia sadar, berkat anugerah wajah yang rupawan, sang suami amat sangat mencintainya. Malam itu ia merasa sudah terlalu manja, sudah waktunya dia sadar akan keberadaanya sebagai seorang istri dan ibu bagi ketiga anaknya. Arini merasa berdosa. “Pa, Papa dimana. Maafkan Mama ya Pa”, sambil menimang Dea hati Arini berbisik.
Ia sengaja menyembunyikan ihwal itu pada keluarga, Arini masih mengharap ayah ketiga anaknya hadir di hari lebaran nanti, dua hari lagi. Ia tidak tahu harus jawab apa bila nanti sang ayah tidak pulang. Apalagi kemarin dia sudah berbohong demi ketenangan anak-anaknya, ia bilang kalau Papa mereka akan pulang malam takbiran sambil membawa semua kebutuhan, makanan dan pakaian.
Malampun berlalu, menyongsong lebaran di lusa waktu, tinggalkan Arini yang kian bingung tak menentu.
*******
Mendung masih nampak diujung kota, menganga. Sedang sisa hujan nampak berdesakan di kubangan jalan raya menghindari tindasan roda-roda karet baja. Sayup-sayup gema takbir menggelitik gendang telinga. Lebaran telah tiba.
Di ujung-ujung jalan nampak kambing terikat, putih dan gagah. Sementara anak-anak kesana kemari mengitari sudut sekolah, tertawa dan bercanda, mencoba memaknai arti idul adha, walau mereka tak sepenuhnya bisa. Seperti mereka yang tak mampu menggapai dunia, terhanti di persimpangan kehidupan, tenggelam di kubangan jalan setapak, jalan rimbun penuh sorak sorai penguasa. Memilukan.
Di balik beton pecah yang ujungnya masih terlihat cerah, entah siapa dan apa yang mampu membelahnya, dengan tatapan kosong penuh kesah, Warmidinata seorang diri menikmati gaung takbir dari istana barunya, istana pengobat rindu dan lara. Entah sampai kapan ia menjadi raja. Ketika semua petuahnya berbuah tindakan. Saat kata-katanya lepas dari jeruji keangkuhan, ketika dia merdeka. Merdeka sebagai seorang ayah, merdeka menjadi kepala keluarga.
Takbir mulai mengerucut, menciut, hingga kini tak ada lagi getara-getaran hati, takbir menghilang dalam kegelapan. Malam sudah larut, penakbir terbius mimpi yang merajut.
Namun tidak dengan Warmidinata, dengan sebilah pisau yang runcing dia mulai menghias tembok.
Maafkan saya Ma. Nina, Rani, Dea, maafkan Papa nak, Papa tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Papa meninggalkan kalian dalam keterlantaran, itupun menurut kalian. Andai kalian merasakan kehidupan yang lain, mungkin kalian akan sangat bersyukur dengan apa yang telah Papa berikan. Tapi…, sudahlah. Sungguh, bukan hati Papa tak lagi mencinta. Semua demi kalian, demi senyum mereka, seyum Mama, satu-satunya wanita yang Papa cinta.
Nak, mungkin kalian tidak akan bertemu Papa jika membaca goresan ini, itupun kalau kalian punya kesempatan. Atau mungkin ada orang yang membacakannya untuk kalian, mudah-mudahan.
Anak-anakku sayang, jaga Mama kalian baik-baik. Patuhilah perintahnya. Tapi ingat satu hal, jika kalian sudah dewasa, ketika mampu menyaring benar dan salah, pikirkan kembali apa yang telah kalian biasakan selama ini, karena kebiasaan yang tidak biasa mungkin terkesan biasa-biasa saja.
Izinkan Papa pergi jauh, dan entah dimanakah Papa akan sampai. Kalau kemarin Papa dengar di pengajian Papa akan singgah di neraka jahannam. Entah benar atau tidak. Kalian tahu kan, keluarga kita jauh dari agama, jauh dari ketenangan jiwa. Apalagi Papa, waktu Papa habis mencari harta dan tahta, demi kalian. Kalian yang tak pernah mengerti posisi Papa, kalian yang selalu meminta.
Ma, mungkin jalan inilah yang pantas Papa tempuh. Setelah dua bulan Papa di PHK, kini Papa bingung mau kerja apa. Tempat Papa yang sekarang juga bangkrut Ma. Usaha yang andai kalian tahu, pastilah kalian merasa terhina, pekerjaan apa adanya dari seorang Warmidinata. Ma, semoga Mama mau berubah dan merubah mereka. Tolong, jangan jadikan mereka seperti Mama.
Ma, Ku doakan Mama dapat Papa baru yang jauh lebih baik dari Papa. Selamat tinggal.
Kehidupan kembali hidup ketika takbir kembali mengguncang Toa tua, hari yang bahagia, idul adha. Setidaknya bagi mereka yang hari ini berhari raya, menanti secuil daging domba dengan canda dan tawa.
Beton itu kini berubah warna, berlapis kentalan warna merah, membalut lingkaran lengan Warmidinata. Ia terlihat pulas, entah kapan ia akan terjaga. Mungkin, ketika keluarganya telah usai beridul adha.
Takbiran, 1429 H.
Oleh : Alfa RS

http://wiralodra.com/2010/09/maaf-papa-kena-phk/





Piring kayu dan gelas bambu

Seorang lelaki tua yang baru ditinggal mati isterinya tinggal bersama anaknya, Arwan dan menantu perempuannya - Rina, serta cucunya - Viva yang baru berusia enam tahun. Keadaan lelaki tua itu sudah uzur, jari-jemarinya senantiasa gemetar dan pandangannya semakin hari semakin buram.

Malam pertama pindah ke rumah anaknya, mereka makan malam bersama. Lelaki tua itu merasa kurang nyaman menikmati hidangan di meja makan. Dia merasa amat canggung menggunakan sendok dan garpu. Selama ini dia gemar bersila, tapi di rumah anaknya dia tiada pilihan. Cukup sukar dirasa-kannya,sehingga seringkali makanan tersebut tumpah. Sebenarnya dia merasa malu seperti itu di depan anak menantu, tetapi dia gagal menahannya. Oleh karena kerap sekali dilirik menantu, selera makannyapun hilang. Dan tatkala dia memegang gelas minuman, pegangannya terlepas. Praannggg !! Bertaburanlah serpihan gelas di lantai.

Pak tua menjadi serba salah. Dia bangun, mencoba memungut serpihan gelas itu, tapi Arwan melarang nya. Rina cemberut, mukanya masam. Viva merasa kasihan melihat kakeknya, tapi dia hanya dapat melihat untuk kemudian meneruskan makannya.

"Esok ayah tak boleh makan bersama kita," Viva mendengar ibunya berkata pada kakeknya, ketika kakeknya beranjak masuk ke dalam kamar. Arwan hanya membisu. Sempat anak kecil itu memandang tajam ke dalam mata ayahnya.

Demi memenuhi tuntutan Rina, Arwan membelikan sebuah meja kecil yang rendah, lalu diletakkan di sudut ruang makan. Di situlah ayahnya menikmati hidangan sendirian, sedangkan anak menantunya makan di meja makan. Viva juga dilarang apabila dia merengek ingin makan bersama kakeknya.

Air mata lelaki tua meleleh mengenang nasibnya diperlakukan demikian. Ketika itu dia teringat kampung halaman yang ditinggalkan. Dia terkenang arwah isterinya. Lalu perlahan-lahan dia berbisik: "Mah... buruk benar layanan anak kita pada abang."

Sejak itu, lelaki tua merasa tidak betah tinggal di situ. Setiap hari dia dihardik karena menumpahkan sisa makanan. Dia diperlakukan seperti budak. Pernah dia terpikir untuk lari dari situ, tetapi begitu dia teringat cucunya, dia pun menahan diri. Dia tidak mau melukai hati cucunya. Biarlah dia menahan diri dicaci dan dihina anak menantu. Suatu malam, Viva terperanjat melihat kakeknya makan menggunakan piring kayu, begitu juga gelas minuman yang dibuat dari bambu. Dia mencoba mengingat-ingat, di manakah dia pernah melihat piring seperti itu. "Oh! Ya..." bisiknya. Viva teringat, semasa berkunjung ke rumah sahabat papanya, dia melihat tuan rumah itu memberi makan kucing-kucing mereka menggunakan piring yang sama!

"Tak akan ada lagi yang pecah, kalau tidak begitu, nanti habis piring dan mangkuk ibu," kata Rina apabila anaknya bertanya. Waktu terus berlalu. Walaupun makanan berserakan setiap kali waktu makan, tiada lagi piring atau gelas yang pecah. Apabila Viva memandang kakeknya yang sedang menyuap makanan, kedua-duanya hanya berbalas senyum.

Seminggu kemudian, sewaktu pulang bekerja, Arwan dan Rina terperanjat melihat anak mereka sedang bermain dengan kepingan-kepingan kayu. Viva seperti sedang membuat sesuatu. Ada palu, gergaji dan pisau di sisinya."Sedang membuat apa sayang? Berbahaya main benda-benda seperti ini," kata Arwan menegur manja anaknya. Dia sedikit heran bagaimana anaknya dapat mengeluarkan peralatan itu, padahal ia menyimpannya di dalam gudang."Mau bikin piring, mangkuk dan gelas untuk Ayah dan Ibu. Bila Viva besar nanti, supaya tak susah mencarinya, tak usah ke pasar beli piring seperti untuk Kakek," kata Viva.

Begitu mendengar jawaban anaknya, Arwan terkejut. Perasaan Rina terusik. Kelopak mata kedua-duanya basah. Jawaban Viva menusuk seluruh jantung, terasa seperti diiiris pisau. Mereka tersentak, selama ini mereka telah berbuat salah ! Malam itu Arwan menuntun tangan ayahnya ke meja makan. Rina menyendokkan nasi dan menuangkan minuman ke dalam gelas. Nasi yang tumpah tidak dihiraukan lagi. Viva beberapa kali memandang ibunya, kemudian ayah dan terakhir wajah kakeknya. Dia tidak bertanya, cuma tersenyum saja, bahagia dapat duduk bersebelahan lagi dengan kakeknya di meja makan. Lelaki tua itu juga tidak tahu kenapa anak menantunya tiba-tiba berubah.

"Esok Viva mau buang piring kayu dan gelas bambu itu" kata Viva pada ayahnya setelah selesai makan. Arwan hanya mengangguk, tetapi dadanya masih terasa sesak karena merasa bersalah.



MORAL OF THE STORY ?

Hargailah kasih sayang kedua orang tua kita. Bapak Ibu kita hanya satu, setelah meninggal tidak akan ada pengganti. Jadi, :

BERBAKTILAH KEPADA BAPAK & IBU KITA
SELAGI MEREKA MASIH HIDUP !!!.

Kisah Nyata Anak Kecil 6 Tahun Merawat Papanya Yang Lumpuh

Tse Tse kecil sedang menyuapi papanya yang lumpuh.
Dajiyuan, 17 Des) Karena ayahnya lumpuh bertahun-tahun, anak yang baru berumur 6 tahun ini terpaksa memikul tanggung jawab rumah tangga. Selain setiap hari mencuci muka ayahnya, memijat dan memberi makan, dia masih bersama ibunya mengambil botol air mineral bekas sebagai tambahan pendapatan keluarga. Cerita Tse Tse ini banyak menyentuh hati teman di internet, hanya beberapa jam, sudah puluhan ribu orang yang mengkliknya.


Begitu sampai di rumah, Tse Tse langsung sibuk menyiapkan seember air, lantas dengan tangannya yang mungil ia memeras selembar handuk yang besar, karena handuk terlalu besar buat dia, Tse Tse membutuhkan 3 sampai 4 menit baru bisa mengeringkannya, kemudian dengan handuk itu dia menyeka wajah ayahnya dengan lap itu. Dia sangat teliti melapnya, sepertinya khawatir kurang bersih. Setelah selesai, Tse Tse kemudian berjingkat melap punggung ayahnya, di belakang, selesai semua, dengan puas dia tersenyum ke ayahnya.
Tse Tse tahun ini berumur 6 tahun, baru kelas 1 SD, tinggal di jalan Baoan, desa Nantong, papanya Xiong Chun pada 5 tahun lalu tiba-tiba menderita otot menyusut, di bawah leher semua lumpuh, untuk mengobati penyakitnya dia telah menghabiskan semua tabungannya. Sekarang, keluarga yang beranggotakan 3 orang ini hanya mengandalkan ibunya yang bekerja di pabrik, dengan penghasilan kecil itulah mereka bertahan hidup.
Di sekolah Houde, anak yang seumur dengannya dengan ceria bergandeng tangan dengan orang tuanya sambil berjalan, namun Tse Tse malah harus sekuat tenaga mendorong ayahnya pulang. Ketika mau menyeberang jalan, dia akan berhenti sejenak, menoleh kendaraan yang lalu lalang, setelah aman dia baru menyeberang. Setiap ketemu tempat yang tidak rata, Tse Tse harus mengeluarkan tenaga ekstra menaikkan roda depan, menarik kursi roda itu dari belakang, wajahnya yang mungil sampai terlihat kemerahan. Dari sekolah sampai rumah jaraknya sekitar 1.500 meter, harus ditempuh selama 20 menit.

Satu keluarga 3 orang menempati rumah 8 m2
Rumah Tse Tse adalah sebuah rumah dengan kamar kecil seukuran 8m2, hanya besi seng menutupi atap yang menghalangi cahaya masuk ke kamar, di atap tergantung sebuah lampu energi kecil. Dalam rumah penuh debu, yang paling mencolok adalah penghargaan Tse Tse yang tergantung di dinding. Terhadap sekeluarga yang pendapatan bulanannya hanya sekitar 1.000 RMB (Rp. 1,5 juta) bisa dikatakan, sebuah TV 21" sudah merupakan barang mewah.
Sebuah ranjang atas dan bawah sudah memenuhi seluruh kamar, di atasnya penuh dengan barang pecah belah, hanya tersisa sedikit ruang kecil. Xiong Chun berkata, itu adalah ranjang Tse Tse. Sebuah meja lipat tergantung di dinding, itu adalah meja belajar Tse Tse, juga adalah meja makan keluarga.
Di samping pintu yang luasnya tidak sampai 1 m2, ada "dapur" yang dibuatnya sendiri, di samping kompor masih tersisa sebatang kubis. "Makanan dan minyak di rumah semua diberikan oleh teman mamanya, satu hari tiga kali makan, Cuma makan malam yang agak lumayan, di rumah jarang makan daging, namun setiap minggu mereka akan mengeluarkan sedikit biaya untuk mengubah kehidupan anaknya, namun setiap kali makan, Tse Tse akan membiarkan saya makan dulu, baru dia makan." Kata Xiong Chun.

Tangan mungil Tse Tse sedang memijat kaki papanya
Setiap hari memijat papanya 3 kali.
Mama Tse Tse bekerja di pabrik, setiap siang hari dia akan menyisakan sedikit waktu pulang ke rumah menanak nasi untuk suaminya, setelah menyuapi dia segera balik ke pabrik bekerja, tanggung jawab merawat suaminya semua di bebankan ke pundak Tse Tse.
Xiong Chun memberitahu wartawan, setiap pagi jam 6.30 begitu jam alarm berbunyi, Tse Tse akan bangun, cuci muka dan sikat gigi, dia juga membantu papanya mencuci muka, selesai itu dia akan memijat tangan dan kaki papanya, kira-kira 10 menit. Pulang sekolah sore, dia akan memijat papanya lagi, malam setelah memandikan papanya, dia akan memijat papanya lagi, baru tidur.
"Agar bisa lebih banyak membantu mamanya, Tse Tse kadang-kadang ikut mamanya memungut barang bekas untuk menambah penghasilan keluarga. "Xiong Chun sangat sayang anaknya. Tetangga di sekeliling sangat terharu dan mengatakan: "Tse Tse sangat mengerti. Kita semua merasa bangga ada anak seperti ini."

Boneka 5 Yuan yang paling disukainya
Mama membawa dia memungut botol air bekas untuk menambah penghasilan. Suatu ketika, Tse Tse memungut satu mainan mobil plastik bekas di tempat sampah, dia bagaikan mendapat barang pusaka, setiap hari akan main sebentar dengan mobil plastiknya itu. Yang Xianfui berkata, kemarin mama dan anak pergi memungut besi bekas, bisa dijual 20 Yuan.
Tse Tse punya satu boneka kecil yang lucu, itu yang paling disayanginya. Malam hari juga mengendongnya tidur. "Dia melihat boneka itu di toko, beberapa kali dia memintanya, 5 Yuan, saya tidak tega terus, akhirnya saya nekat membelikannya," Kata Xiong Chun.

Tse Tse dengan tekun merawat papanya. Begitu Tidak Boleh Sekolah, Langsung Menangis
Untuk mengirit biaya listrik,setiap hari begitu pulang sekolah Tse Tse akan memindahkan "Meja kecilnya" keluar, mengejar siang hari menyelesaikan PR-nya.
"Uang sekolahnya setahun sekitar 3.000 sampai 4.000, kami tidak sanggup. Karena tidak ada uang, tahun ini saya juga melepaskan berobat lagi," kata Xiong Chun. Beberapa waktu yang lalu, dia berbicara dengan istrinya agar Tse Tse berhenti sekolah saja, Tse Tse begitu tahu langsung menangis.
Xiong Chun berteriak, "Hidup normal saja bermasalah, masih harus kasih dia sekolah, sungguh susah, bila sudah tidak mungkin, biar dia berhenti saja." Tse Tse yang sedang bermain boneka, begitu mendengar kata papanya, langsung menangis. Xiong Chun menarik Tse Tse ke sisinya, membujuk: "Papa akan usahakan kamu sekolah, biar kamu bisa sekolah!" Setelah dibujuk beberapa kali, Tse Tse baru berhenti menangis, dengan tangan mungilnya dia menyeka air matanya.
"Terhadap Tse Tse, saya sungguh menyesal....," sambil menangis tersedu, Xiong Chun sudah tidak dapat berkata lagi. Xiong Chun berkata: "Saya percaya pasti akan sembuh, Tse Tse adalah harapan saya." (dajiyuan.com/lim)
wahh nice share gan..
sedih banged..

Seorang anak dengan ayahnya

Seperti biasa Andrew, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Sarah, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya.

Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.
"Kok, belum tidur ?"
sapa Andrew sambil mencium anaknya. Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Sarah menjawab, "Aku nunggu
Papa pulang. Sebab aku mau Tanya berapa sih gaji Papa ?"
"Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?"
"Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Sarah singkat.
"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja
sekitar 10jam dan dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja.

Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?"
Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Andrew beranjak menuju
kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlari mengikutinya."Kalo satu hari Papa dibayar
Rp. 400.000,-untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp. 40.000,- dong" katanya.

"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur" perintah Andrew. Tetapi Sarah tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian,Sarah kembali
bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?"

"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini ? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah".
"Tapi Papa..."
Kesabaran Andrew pun habis. "Papa bilang tidur !" hardiknya mengejutkan Sarah. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.

Usai mandi, Andrew nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Sarah di kamar
tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Sarah didapati sedang terisak-isak
pelan sambil memegang uang Rp.15.000,- di tangannya. Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Andrew berkata, "Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sarah.
Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Andrew

"Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah
menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini".

"lya, iya, tapi buat apa ?" tanya Andrew lembut.
"Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp.15.000,- tapi.. karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp.. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp.5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Sarah polos.

Andrew pun terdiam. ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "membeli" kebahagiaan anaknya.

"Bagi dunia kau hanya seseorang, tapi bagi seseorang kau adalah dunianya"

Pengorbanan cinta


Reo dan July adalah sepasang kekasih yang serasi walaupun keduanya berasal dari keluarga yang jauh berbeda latar belakangnya. Keluarga July berasal dari keluarga kaya raya dan serba berkecukupan, sedangkan keluarga Reo hanyalah keluarga seorang petani miskin yang menggantungkan kehidupannya pada tanah sewaan.

Dalam kehidupan mereka berdua, Reo sangat mencintai July. Reo telah melipat 1000 buah burung kertas untuk July dan July kemudian menggantungkan burung-burung kertas tersebut pada kamarnya. Dalam tiap burung kertas tersebut Reo telah menuliskan harapannya kepada July. Banyak sekali harapan yang telah Reo ungkapkan kepada July. “Semoga kita selalu saling mengasihi satu sama lain”,”Semoga Tuhan melindungi July dari bahaya”,”Semoga kita mendapatkan kehidupan yang bahagia”,dsb. Semua harapan itu telah disimbolkan dalam burung kertas yang diberikan kepada July.

Suatu hari Reo melipat burung kertasnya yang ke 1001. Burung itu dilipat dengan kertas transparan sehingga kelihatan sangat berbeda dengan burung-burung kertas yang lain. Ketika memberikan burung kertas ini, Reo berkata kepada July: “ July, ini burung kertasku yang ke 1001. Dalam burung kertas ini aku mengharapkan adanya kejujuran dan keterbukaan antara aku dan kamu. Aku akan segera melamarmu dan kita akan segera menikah. Semoga kita dapat mencintai sampai kita menjadi kakek nenek dan sampai Tuhan memanggil kita berdua ! “

Saat mendengar Reo berkata demikian, menangislah July. Ia berkata kepada Reo : “Reo, senang sekali aku mendengar semua itu, tetapi aku sekarang telah memutuskan untuk tidak menikah denganmu karena aku butuh uang dan kekayaan seperti kata orang tuaku!” Saat mendengar itu Reo pun bak disambar geledek. Ia kemudian mulai marah kepada July. Ia mengatai July matre, orang tak berperasaan, kejam, dan sebagainya. Akhirnya Reo meninggalkan July menangis seorang diri.

Reo mulai terbakar semangatnya. Ia pun bertekad dalam dirinya bahwa ia harus sukses dan hidup berhasil. Sikap July dijadikannya cambuk untuk maju dan maju. Dalam Sebulan usaha Reo menunjukkan hasilnya. Ia diangkat menjadi kepala cabang di mana ia bekerja dan dalam setahun ia telah diangkat menjadi manajer sebuah perusahaan yang bonafide dan tak lama kemudian ia mempunyai 50% saham dari perusahaan itu. Sekarang tak seorangpun tak kenal Reo, ia adalah bintang kesuksesan.

Suatu hari Reo pun berkelilingkotadengan mobil barunya. Tiba-tiba dilihatnya sepasang suami-istri tua tengah berjalan di dalam derasnya hujan. Suami istri itu kelihatan lusuh dan tidak terawat. Reo pun penasaran dan mendekati suami istri itu dengan mobilnya dan ia mendapati bahwa suami istri itu adalah orang tua July. Reo mulai berpikir untuk memberi pelajaran kepada kedua orang itu, tetapi hati nuraninya melarangnya sangat kuat. Reo membatalkan niatnya dan ia membuntuti kemana perginya orang tua July.

Reo sangat terkejut ketika didapati orang tua July memasuki sebuah makam yang dipenuhi dengan burung kertas. Ia pun semakin terkejut ketika ia mendapati foto July dalam makam itu. Reo pun bergegas turun dari mobilnya dan berlari ke arah makam July untuk menemui orang tua July.

Orang tua July pun berkata kepada Reo :”Reo, sekarang kami jatuh miskin. Harta kami habis untuk biaya pengobatan July yang terkena kanker rahim ganas. July menitipkan sebuahsuratkepada kami untuk diberikan kepadamu jika kami bertemu denganmu.” Orang tua July menyerahkan sepucuksuratkumal kepada Reo.

Reo membacasuratitu. “Reo, maafkan aku. Aku terpaksa membohongimu. Aku terkena kanker rahim ganas yang tak mungkin disembuhkan. Aku tak mungkin mengatakan hal ini saat itu, karena jika itu aku lakukan, aku akan membuatmu jatuh dalam kehidupan sentimentil yang penuh keputusasaan yang akan membawa hidupmu pada kehancuran. Aku tahu semua tabiatmu Reo, karena itu aku lakukan ini. Aku mencintaimu
Reo.

July “ Setelah membaca surat itu, menangislah Reo. Ia telah berprasangka terhadap July begitu kejamnya. Ia pun mulai merasakan betapa hati July teriris-iris ketika ia mencemoohnya, mengatainya matre, kejam dan tak berperasaan. Ia merasakan betapa July kesepian seorang diri dalam kesakitannya hingga maut menjemputnya, betapa July mengharapkan kehadirannya di saat-saat penuh penderitaan itu. Tetapi ia lebih
memilih untuk menganggap July sebagai orang matre tak berperasan.July telah
berkorban untuknya agar ia tidak jatuh dalam keputusasaan dan kehancuran.

Cinta bukanlah sebuah pelukan atau ciuman tetapi cinta adalah pengorbanan untuk orang yang sangat berarti bagi kita...

Kasih ibu tiada taranya

Pada suatu waktu, di sebuah desa, tinggalah seorang Ibu dengan anak tunggalnya di sebuah rumah kecil dekat hutan..Suaminya pergi begitu saja meninggalkan mereka saat anaknya lahir..
Sang anak pun bertambah dewasa sampai akhirnya ia mengetahui bahwa sebenarnya Ibunya itu buta sebelah mata..

Sang anak pun lama-kelamaan mulai merasa malu terhadap teman-temannya karena Ia mempunyai seorang Ibu yang buta sebelah matanya..Sampai suatu saat, sang anak lari ke rumahnya dengan menangis..Lalu sang Ibu pun bertanya kepada anaknya,"Mengapa Engkau menangis?" lalu jawab anaknya,"Saya malu mempunyai Ibu yang buta seperti Engkau.."
Ibunya tentu sangat terpukul dengan perkataan sang anak..Namun sang ibu tetap menyimpannya dalam hati dan berusaha membangkitkan semangat anaknya kembali..

Setelah beranjak dewasa, sang anak pun pergi meninggalkan Ibunya ke kota karena ia sudah sangat malu dengan Ibunya sendiri..Beberapa tahun berlalu dan sampailah pada suatu waktu dimana sang anak mendapat kabar bahwa Ibunya jatuh sakit, maka sang anak pun bergegas kembali ke rumah Ibunya..Namun sesampainya di dekat rumah Ibunya, rumah itupun sudah dikerumuni banyak orang, lalu sang anak langsung menerobos masuk..

Ternyata sang anak terlambat..

Ibunya baru saja menghembuskan nafas terakhirnya..

Tentu Ia sangat menyesal dengan kejadian itu..Ia langsung menangis sambil memeluk Ibunya yang sudah tak bernyawa dan pada tangan Ibunya, terlihat secarik kertas putih..Ia pun mengambil kertas itu dan ternyata itu adalah surat dari sang Ibu yang berisi......


Untuk yang tercinta Anak-ku..

Mungkin pada saat kamu membaca ini, Ibu sudah tidak ada..Ibu hanya ingin memberitahu sedikit tentang sesuatu yang sebenarnya sudah Ibu tutupi sekian lama..
Ibu sangat menyayangi kamu dari lahir..Engkau dilahirkan sempurna dan lugu..Sampai pada suatu hari ketika kamu masih kecil, mata-mu tersangkut kawat hingga mata-mu terluka sebelah..

Kemudian Ibu pergi membawamu ke kota untuk operasi..Dan ternyata, mata-mu buta..
Ibu sangat bingung waktu itu sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menukar mata-mu yang buta dengan mata Ibu yang masih normal sehingga kamu dapat melihat indahnya dunia dengan kedua bola ini..


Belum sempat sang anak meneruskan mambaca surat itu, ia langsung menangis dan berteriak sangat sedih akan kepergian Ibunya..
Memang kita kini diingatkan kembali bahwa "Kasih Ibu Tiada Taranya.." jadi jangan sekali-kali melawan orang tua-mu..tentunya engkau tidak ingin mengalami hal yang sama dengan sang anak bukan..Apabila anda mempunyai kesalahan kepada orang tua anda, cepatlah meminta maaf..

















6.000 Tangga cinta ( Kisah cinta dari China (Truth Story))

 
Laki-laki China berusia 70 tahun yang telah memahat 6000 anak tangga dengan tangannya (hand carved) untuk isterinya yang berusia 80 tahun itu meninggal dunia di dalam goa yang selama 50 tahun terakhir menjadi tempat tinggalnya.
50 tahun yang lalu, Liu Guojiang, pemuda 19 tahun, jatuh cinta pada seorang janda 29 tahun bernama Xu Chaoqin.

Seperti pada kisah Romeo dan Juliet karangan Shakespeare, teman-teman dan kerabat mereka mencela hubungan mereka karena perbedaan usia di antara mereka dan kenyataan bahwa Xu sudah punya beberapa anak.

Pada waktu itu tidak bisa diterima dan dianggap tidak bermoral bila seorang pemuda mencintai wanita yang lebih tua.....Untuk menghindari gossip murahaan dan celaan dari lingkungannya, pasangan ini memutuskan untuk melarikan diri dan tinggal di sebuah goa di Desa Jiangjin, di sebelah selatan Chong Qing.

Pada mulanya kehidupan mereka sangat menyedihkan karena tidak punya apa-apa, tidak ada listrik atau pun makanan. Mereka harus makan rumput-rumputan dan akar-akaran yang mereka temukan di gunung itu. Dan Liu membuat sebuah lampu minyak tanah untuk menerangi hidup mereka.
Xu selalu merasa bahwa ia telah mengikat Liu dan is berulang-kali bertanya,"Apakah kau menyesal?" Liu selalu menjawab, "Selama kita rajin, kehidupan ini akan menjadi lebih baik".

Setelah 2 tahun mereka tinggal di gunung itu, Liu mulai memahat anak-anak tangga agar isterimya dapat turun gunung dengan mudah. Dan ini berlangsung terus selama 50 tahun.
Setengah abad kemudian, di tahun 2001, sekelompok pengembara (adventurers) melakukan explorasi ke hutan itu. Mereka terheran-heran menemukan pasangan usia lanjut itu dan juga 6000 anak tangga yang telah dibuat Liu.

Liu Ming Sheng, satu dari 7 orang anak mereka mengatakan, "Orang tuaku sangat saling mengasihi, mereka hidup menyendiri selama lebih dari 50 tahun dan tak pernah berpisah sehari pun. Selama itu ayah telah memahat 6000 anak tangga itu untuk menyukakan hati ibuku, walau pun ia tidak terlalu sering turun gunung.

Pasangan ini hidup dalam damai selama lebih dari 50 tahun. Suatu hari Liu yang sudah berusia 72 tahun pingsan ketika pulang dari ladangnya. Xu duduk dan berdoa bersama suaminya sampai Liu akhirnya meninggal dalam pelukannya. Karena sangat mencintai isterinya, genggaman Liu sangat sukar dilepaskan dari tangan Xu, isterinya.

"Kau telah berjanji akan memeliharakanku dan akan terus bersamaku sampai akan meninggal, sekarang kau telah mendahuluikun, bagaimana akan dapat hidup tanpamu?"
Selama beberapa hari Xu terus-menerus mengulangi kalimat ini sambil meraba peti jenasah suaminya dan dengan air mata yang membasahi pipinya.
Pada tahun 2006 kisah ini menjadi salah satu dari 10 kisah cinta yang terkenal di China, yang dikumpulkan oleh majalah Chinese Women Weekly.

Pemerintah telah memutuskan untuk melestarikan "anak tangga cinta" itu, dan tempat kediaman mereka telah dijadikan musium agar kisah cinta ini dapat hidup terus.

Jangan benci aku mama

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan.

Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan & membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja.

Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang.

Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak.

Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya.

Sambil tersenyum ia berkata,
"Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mommy!"

Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya,
"Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?"

"Nama saya Elic, Tante."

"Eric? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?"


Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga.


Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar di kepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric...


Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary, apa yang sebenarnya terjadi?"


"Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu." tetapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak. ..


Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tempati beberapa tahun lamanya dan Eric.. Eric...


Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun!


Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.


Namun saya tidak menemukan siapa pun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata saya mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. .. Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.


Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.


"Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau ke sini?!"


Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?"


Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., Mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan & mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."


Saya pun membaca tulisan di kertas itu...


"Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..."


Saya menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan... katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!


Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!"


Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.


"Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana ... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya disana. Nyonya, dosa Anda tidak terampuni!"


Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.

Template by:

Free Blog Templates